Selasa, 13 Februari 2018

Kisah Legenda Patung Sigale-gale Tomok Samosir

Kisah Legenda Patung Sigale-gale Tomok Samosir

Sigale gale adalah sejenis patung yang diukir menyerupai manusia yang terbuat dari kayu, yang dapat digerakkan seperti cara seseorang dalang untuk memainkan wayang golek dalam suku jawa, tetapi permainannya hanya dalam gerak ( tortor / tari ) diiringi oleh musik gondang sabangunan.

Kayu yang sudah siap diukir menyerupai manusia ini di buatlah di setiap persendiannya seperti ikatan dari benang misalnya di leher, lutut tangan dan kaki dan jari jemari tangan tersebut lalu dirangkai dengan sedemikian rupa, dan tali temali tersebut disambungkan dengan seseorang atau beberapa orang dalang yang akan memainkannya namun sebelumnya bahwa patung tersebut telah diberi berpakaian lengkap seperti pakaian adat suku batak, sehingga si gale gale ini dapat menari adalah tergantung kepada orang yang mengatur tali temali yang menggerakkan bagian – bagian tertentu dari Sigale gale itu yang disesuaikan dengan irama gendang ( gondang ).

Hal ini dilakukan adalah menggambarkan keadaan yang terjadi pada masyarakat suku batak dan aspek – aspek lain yang berhubungan dengan kebudayaan masyarakat suku batak pada jaman dahulu kala. Konon menurut legenda suku batak, sejarah Sigale gale dapat dikisahkan sebagai berikut, pada jaman dahulu kala hiduplah satu keluarga yang menyandang gelar Raja di kampungnya yang bernama “ Raja Rahat “ dan Raja ini sudah terkenal dimana – mana karena memiliki harta yang berlipat ganda, namun hanya memiliki keturunan seorang anak laki – laki.

Pada suatu hari anak satu satunya ini di timpa suatu penyakit yang aneh dan tidak ada salah satu orangpun dukun ( datu ) yang dapat mengobati penyakit sianak ini, sehingga anaknya ini menghembuskan napasnya yang terakhir membuat sang raja sangat berduka.

Sang Raja pun menyuruh para pengawalnya ( ulubalang ) untuk mencari para tukang ukir kayu keseluruh penjuru kampung, agar dapat membuat patung dari kayu yang menyerupai anaknya yang telah pergi meninggalkannya itu. Tidak beberapa lama kemudian datanglah salah seorang tukang ukir kayu yang sangat terkenal di daerah itu bernama “ Rahat Bulu dengan gelar Datu Manggeleng “ , sehingga sang raja pun menceritakan niatnya agar tukang ukir kayu tersebut dapat mengukir sebuah patung manusia yang menyerupai anaknya dalam waktu selama tiga hari saja, sang tukang ukir kayu ini pun dapat menyanggupi permintaan sang raja.

Dalam pencariannya, sang kudun ( tukang ukir kayu ) ini melihat sebatang pohon yang tidak bercabang dan tidak berdaun dan besarnya sebesar tubuh manusia di dalam hutan, sang dukun pun menebang kayu tersebut karena sesuai dengan pesanan sang raja, lalu sang dukun melukis pohon itu dan mengukirnya berbentuk manusia, seolah – olah seperti manusia yang hidup dan bentuknyapun bertambah cantik setelah diberi berpakaian lengkap dengan perhiasannya.

Alangkah gembiranya hati sang raja Rahat setelah melihat patung itu, karena benar – benar mirip dengan anaknya yang sudah meninggal, rasa sedih hati sang raja pun dapat terobati maka dilaksanakanlah acara adat pemberangkatan dengan menabuh gendang untuk memberangkatkan anaknya ke pekuburan untuk dikebumikan, dan patung tersebut digerak – gerakkan tukang ukir kayu inilah sambil menari – nari dengan mengikuti irama gendang ( ogung ) tadi, Usai acara penguburan anaknya, sang raja Rahat pun berpesan kepada penduduk yang menyaksikan acara penguburan anaknya itu, dan Raja Rahat mengatakan “ apabila suatu saat nanti saya telah meninggal dunia, patung yang kalian ukir inilah teman kalian untuk menari – nari di dekat saya, karena saya tidak memiliki anak lagi, dan patung ini saya beri nama “ SIGALE GALE “ , dan seluruh harta yang saya miliki ini dapat dihabiskan semuanya untuk makan dan minum warga, dan kalaupun ada seperti saya ini agar sigale gale inilah untuk disuruh menari – nari dan dapat menghabiskan hartanya, agar jangan ada lagi kejadian seperti ini di kampung kita ini untuk di kemudian hari.” Ujar sang raja.

Beberapa tahun kemudian, meninggallah raja Rahat ini tampa memiliki keturunan lagi, sehingga para warga sekampung berembuklah untuk melaksanakan pesan ( tona ) sang raja semasih hidupnya kepada penduduk kampung, maka diputuskanlah untuk melaksanakan acara pemakaman seperti yang dipesankan sang raja.

Dan Sigale gale pun di mainkanlah dengan menari – nari oleh sang dukun dan seluruh harta sang raja di habiskan untuk membeli makanan dan minuman, usai acara adat dilaksanakan maka diantarkanlah sang raja Rahat bersama Sigale gale ke pekuburan untuk di kebumikan bersama – sama.

Demikianlah kisah / legenda Sigale gale dibuat menjadi patung yang diukir menyerupai manusia, bagi masyarakat suku batak kisah ini merupakan pesan atau tona berupa permohonan kepada Ompu Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Esa ) agar warga masyarakat suku batak yang membentuk rumah tangga baru dapat dikaruniai keturunan dan diberi kehidupan yang lebih baik, H o r a s.

Rabu, 07 Februari 2018

Sejarah Ritonga) Kenapa di Sebut Ritonga ?

Sejarah Ritonga) Kenapa di Sebut Ritonga ?

 

Untuk lebih jelasnya, marilah kita telusuri terlebih dahulu sejarah asalnya. Paisang Isang Harbangan, yang mendapat panggilan “Ritonga”, adalah anak Silali Dolok. Silali adalah anak Siregar. Siregar memiliki empat orang anak. Anak pertama yang bernama Silo, anak kedua bernama Dongoran, anak ketiga bernama Silali dan anak keempat bernama Siagian. Silali mempunyai dua anak Silali Dolok ( Manahan ) sebagai anak pertama dan Silali Toruan (Pamoto) sebagai anak kedua. Paisang Isang Harbangan ini adalah satu satunya anak dari Silali Dolok.

Disini, hanya dibahas sejarah Paisang Isang Harbangan, sebab beliau adalah kake kita yang menurunkan Marga Ritonga.

Awalnya, Paisang Isang Harbangan bertempat tinggal di Muara Lobu Siregar bersama orang tuanya ( SilaliDolok) dan pamannya Silali Toruan. Ketika sudah dewasa, saat musim paceklik tiba dan hasil pertanian tidak memadai lagi untuk kehidupan, Paisang Isang Harbangan pun berpikir dan terus berpikir mencari jalan keluar untuk memenuhi kehidupan ini.

Akhirnya, Paisang Isang Harbangan pun bertekad dalam hatinya. “ Saya harus keluar dari kemelut ini, dan akan merantau dari Muara Lobu Siregar untuk mencari kehidupan yang lebih baik lagi di tempat lain”.

Kemudian Paisang Isang Harbangan pun menemui kawan-kawannya yang sehaluan dan setujuan. Kawan-kawannya pun sangat setuju dan mendukungnya.

Apalagi mereka mengetahui bahwa Paisang IsangHarbangan mempunyai kelebihan-kelebihan. Jujur, berani dan lagi punya ilmu yang tinggi. Siapa yang tidak mau berkawan dengan orang yang cukup punya kemampuan dari berbagai segi. Dan mereka pun sepakat untuk merantau mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka pun menyiapkan perbekalan seperlunya saja.

Pada waktu dan tanggal yang telah disepakati, mereka pun berangkat ke Dolok Tor Sihabu-Habu.

Sesampainya disana, mereka pun istirahat sejenak dan memakan bekal yang seadanya dari kampung saat tengah hari. Setelah selesai makan, mereka pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Namun ketika mereka berdiri dan menatap-natap disekelilingnya mereka melihat dikejauhan ada tanda-tanda asap mengepul. Dan mereka memperhatikan dengan sungguh-sungguh.

Dengan tidak disangsikan lagi kebenarannya, Paisang Isang Harbangan pun mengajak semua rombongan untuk berangkat. “Mari kita lanjutkan perjalanan ini! Mudah-mudahan kita menemukan kampung sebelum malam hari. Mari sama-sama kita memperhatikan arah timbulnya asap yang kita lihat tadi di Dolok Tor Sihabu-Habu. Mungkin saja nanti kita akan menemukan kampung yang cocok untuk pertanian dan tempat kita. Mari kita lanjutkan perjalanan. Mungkin masih jauh. Apalagi perjalanan ini mendaki dan menurun”. seru Paisang Isang Harbangan.

Menjelang sore hari, rombongn mendengar ayam berkokok dari kejauhan sebagai pertanda adanya sebuah kampung. “ Mari kawan-kawan kita lanjutkan perjalanan ini. Mudah-mudahan saja kita menemukan kampung yang kita harapkan”. Akhirnya perjalanan itu benar-benar menemukan sebuah kampung. Dan rombongan pun tiba di depan kampung. Mereka lalu berhenti sejenak untuk mufakat. Mufakat menghasilkan keputusan untuk menemui Raja Kampung. Kemudian, mereka membuat kesepakatan agar tidak membuat tingkah laku yang mencurigakan orang-orang dikampung ini.

Rombongan pun bergerak perlahan-lahan. Dan orang-orang kampung itupun mendatangi Paisang IsangHarbangan dan rombongannya. Kemudian mereka bersalam-salaman dengan penduduk kampung itu.

Rombongan pun menjawab dengan basa-basi seperlunya. Lalu rombongan menanyakan perihal Raja Kampung kepada penduduk tersebut.

Penduduk kampung pun memberitahukan bahwa Raja Kampung ada dirumahnya. Kemudian rombongan mengajak penduduk kampung untuk membawa mereka kerumah raja Kampung. Penduduk kampung pun akhirnya membawa mereka kerumah Raja. Benar saja, Raja memang berada dirumahnya. Raja pun menyambut dan mempersilakan rombongan dan penduduk masuk kerumahnya.

Dirumah Raja, rombongan pun sama-sama duduk diatas tikar yang terbentang. Lalu Raja kampung pun bertanya kepada rombongan perihal maksud dan tujuannya datang kekampung tersebut. (Sementara waktu sudah menjelang malam). Rombongan pun menjawab dengan rendah hati dan basa-basi kesana kemari. Mereka kemudian disuguhkan makanan ala kadarnya. Namun, tidak ada satupun yang mencicipinya karena mungkin saja ada hal-hal yang kurang baik untuk kesehatan mereka.

Mengingat hari sudah jauh malam, maka Paisang Isang Harbangan sebagai kepala rombongan memohon untuk undur diri dari ruangan. Sebelum undur diri, Paisang Isang Harbangan pun berkata, “ Kalau bisa, kami mengharapkan pertolongan dari Raja untuk membekali kami sirih untuk kami makan diperjalanan”. Raja lalu dengan senang hati memberikan sirih selengkapnya kepada mereka.

Mereka pun permisi untuk berangkat meneruskan perjalanan di tengah malam buta yang sangat susah ditempuh karena mereka tidak mengetahui keadaan kampung tersebut. Mereka terus mengikuti jalan, hanya cahaya bintang yang gemerlap dari langit yang menerangi jalan. Rupanya, jalan yang ditempuh adalah jalan kepancuran. Lalu mereka pun mendaki keatas pancuran.

Disana mereka berhenti untukistirahat di tepi pancuran, Mereka berbisik-bisik dari seorang keseorang hingga membuahkan hasil kesepakatan bersama. Mereka lalu sungguh-sungguh menyiapkan segala sesuatunya dengan maksud sebelum pagi hari tugas semuanya sudah selesai. Yaitu rencana untuk mengelabui penduduk kampung tersebut.

Sebelum penduduk datang, mereka pun segera menjauh dari tepi pancuran untuk mengamati reaksi penduduk kampung yang bernama Parsosoran.

Seperti biasanya, tidak ada penduduk kampung yang curiga. Hingga akhirnya penduduk terkejut. Bahkan sangat terkejut sampai-sampai mereka tidak jadi ambil air. Penduduk melihat makanan yang berserakan, sirih-sirih yang bersimbahan. Demikian pula kayu yang dipacakan sebagai pertahanan. Ibu-ibu pun segera pulang untuk memberitahukan kepada keluarga masing-masing.

Ada pula yang melaporkannya kepada Raja Kampung, bahwa bagaimanapun, mereka bertujuan jahat, mereka bertujuan menyerang kampung karena mereka telah membuat pertahanan dan penduduk kampung tidak akan mampu membendung dan melawan mereka.

Penduduk pun mengusulkan kepada Raja Kampung untuk meninggalkan kampung bersama-sama daripada banyak jatuh korban. Raja pun akhirnya setuju atas keinginan penduduk kampung ini.

Masing-masing penduduk menyiapkan barang-barang yang bisa dibawa. Masing-masing sedang sibuk mengurus barang-barangnya.

Dihalaman rumah Raja, anak-anak dan ibu-ibu sudah berkumpul untuk berangkat. Sementara laki-laki turun naik kerumahnya untuk melihat apakah ada yang bisa dibawa. Raja lalu memerintahkan untuk berangkat. Anak-anak dan ibu-ibu ditempatkan ditengah-tengah rombongan, sementara laki-laki di depan dan di belakang rombongan.

Paisang Isang Harbangan dan teman-temannya sejak pagi sekali sudah memantau dan mengintip kepergian penduduk kampung.

Satu jam kemudian kampung itu kosong sekosong-kosongnya. Paisang Isang Harbangan pun beserta rombongan turun kesegala sudut kampung sambil mengintip kecelah-celah rumah jika saja ada hal-hal yang mencurigakan. Ternyata benar-benar kosong, tidak ada yang mencurigakan, aman seaman-amannya. Kejadian ini bagaikan mimpi disiang bolong. Siasat Paisang IsangHarbangan dan rombongan untuk mengelabui penduduk kampung benar-benar membawa hasil. Dan kampung Parsosoran telah jatuh ketangan rombongan Paisang Isang Harbangan tanpa ada kesulitan dan pengerahan tenaga. 

Penduduk kampung kalah sebelum berperang, tak ada setetes keringat ataupun darah yang mengalir.

Melihat disana sini masih ada api, diatas tungku masih tertenggek periuk nasi, maka rombongan Paisang Isang Harbangan yang benar-benar laparpun makan seadanya untuk mengganjal perut yang kosong. Rombongan kemudian bersiap-siap dan berjaga-jaga bila kemudian ada yang mencurigakan. Ternyata mereka aman aman saja serta tidak ada gangguan dari manapun.

Paisang Isang Harbangan dan teman-temannya berikrar bersama-sama seiya sekata untuk mempertahankan kampung yang telah jatuh ketangan mereka. Janji mereka ini adalah janji abadi. Langkah selanjutnya adalah meningkatkan pertanian dan kehidupan, menjaga keamanan.

Tahun berganti tahun, Paisang Isang Harbangan pun selalu dijemput dan diminta untuk mengobati penderita yang sakit. Pada umumnya, penangannya cukup berhasil. Dan mengingat usianya sudah bertambah tua, Paisang Isang Harbangan pun menetap saja dirumahnya. Namun, karena kesohorannya, orang-orang selalu berdatangan untuk berobat.

Dan orang-orang yang datang selalu bertanya. “Yang manakah rumah Datu Na Bolon itu?”. Penduduk kampung menjawab, “ Itulah dia rumahnya yang diTONGA dan atap rumahnya terbuat dari RI atau lalang/padang”.

Demikianlah seterusnya pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang datang. Dan Demikian pula sebaliknya jawaban penduduk kampung Parsosoran dengan RITONGA saja.

Akhirnya Paisang Isang Harbangan pun dinamai Paisang Isang Harbangan Ritonga ( atap rumahnya terbuat dari ri = ilalang).

Demikianlah Asal Usul sebutan Ritonga menjadi sebutan abadi, yang akhirnya terus berkembang keturunan-keturunannya kepelosok tanah air Indonesia. Kampung Parsosoran inilah kampung kake kita, Paisang Isang Harbangan dengan pembawa Marga Ritonga. Disana telah didirikan tugu atau monument sejarah Ritonga pada tanggal 9 Oktober 1993.

Sumber : Tobatabo.com

Senin, 04 April 2016

Kisah Janji/Padan Siregar Silali dan Nainggolan Parhusip



Kisah Janji/Padan Siregar Silali dan Nainggolan Parhusip

Disini saya akan merangkum dan mengambil hikmah dari Kisah Padan Marga Siregar dan Nainggolan. Bukan untuk meneliti ataupun menilai mana yang baik dan benar kisah ini, akan tetapi untuk memperkaya khasanah Pengetahuan, khususnya mengenai Tarombo Marga saya, Siregar Silali. Sekalipun tulisan saya subjektif, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya hanya mencoba merangkum berbagai versi dan kecocokan mengenai kisah Padan Siregar dan Nainggolan ini. Tujuannya tidak lain hanya untuk membagikan kepada keluarga dan keturunan Toga Siregar kelak di kemudian hari, akan mudah-mudahan generasi muda yang akan datang bisa melestarikan Adat dan Budaya leluhur batak.

Ada beberapa versi cerita mengenai Padan Siregar dan Nainggolan. Mulai dari Folklore Batakland, versi berbagai tarombo marga baik itu Siregar dan Nainggolan. Namun pada dasarnya timbulnya padan/janji tersebut adalah sama, yaitu pertukaran (change) antara Boru (bayi permepuan) Silali yang baru dilahirkan ditukar dengan Anak Nainggolan (bayi laki-laki). Jadi anak Siregar Silali tersebut sebenarnya adalah anak Toga Nainggolan, dan boru Nainggolan itu sebenarnya adalah boru Siregar.

Lebih jauh, pengertian padan adalah ikrar janji yang telah diikat oleh leluhur orang Batak terdahulu yang mengharamkan pernikahan kedua belah pihak dengan maksud menjaga hubungan baik di antara keduanya. Janji di antara orang di masa lalu adalah merupakan hukum. Hal semacam ini juga berlaku pada umumnya di tengah-tengah masyarakat Batak.


Pepatah Batak mengatakan: ”Hata do siingoton”, yang artinya ucapan atau janji seseoranglah yang diingat dan dipegang teguh. Selain itu, pepatah lain mengatakan: “Togu ihot ni uhum, tumoguan ihot ni padan”, yang bermakna kuat ikatan hukum, lebih kuat ikatan janji. Karena kata adalah janji, orang menjadi sangat hati-hati untuk mengikat janji dengan orang lain. Konsekuensi ikatan janji bisa turun temurun hingga beberapa generasi. Itu sebabnya orang Batak dewasa ini banyak yang terikat janji yang dibuat oleh nenek moyang mereka di masa lalu, banyak anggota marga tertentu terikat janji dengan anggota marga lain karena janji nenek moyang di masa lalu.


Kuatnya ikatan padan diumpamakan seperti peribahasa (umpasa) berikut:


Togu urat ni bulu,
Toguan urat ni padang,


Togu pe na nidok ni uhum,


Toguan nidok ni Padan


Artinya sebagai berikut :


Akar bambu kuat,


Akan tetapi akar rumput lebih kuat lagi,


Biarpun peraturan hukum kuat,


Lebih kuat lagi kata janji


Disini saya akan menceritakan kisah padan Siregar Silali dan Nainggolan Parhusip ini, berdasarkan versi dari Buku Toga Siregar, Karangan Santun Siregar_Op Gogo Doli. Menurut perspektif saya, buku ini yang saya pegang untuk dijadikan referensi karena sesuai dengan legenda/folklore batakland . Bukan karena beliau adalah masih ompung saya (kami dari pomparan yang sama yaitu Pomparan Ompung Raja Sungkia Siregar Silali di Pearung, Lintong ni Huta, tetapi saya menghormati buku karangan beliau, menuliskan buku ini melalui perjalalanan panjang beliau untuk membuat Buku Toga Siregar, beliau juga ikut hadir dimulai dari peletakan Batu Pertama Tugu Toga Siregar Tahun 1964, dan Pesta Peresmian Tugu Siregar di Muara tanggal 17-19 April 1974.
 

Toga Siregar mempunyai 2 Isteri yaitu :


  1. Siboru Panggabean Boru Limbong
    Dari Istri pertama ini lahir 2 putra, yaitu SILO dan DONGORAN
    Akan tetapi setelah anak kedua dilahirkan beliau meninggal dunia, dan Toga Siregar meikah lagi dengan dengan adiknya, Siboru Pandan So Malos Boru Limbong (ganti tikkar)
  2. Siboru Pandan So Malos Boru Limbong.
    Dari istri kedua ini, lahirlah dua putra, SILALI dan SIAGIAN.


Kisah lahirnya SILALI bermula dari Siboru Pandan So Malos Boru Limbong resah dan ingin melahirkan anak bayi laki-laki. Dan dikisahkan waktu itu ada klan Marga Nainggolan yang istrinya selalu melahirkan anak laki-laki dan sangat ingin (merindukan) melahirkan bayi perempuan. Pada satu kesempatan, yang terjadi secara kebetulan, mereka sama-sama melahirkan. Akan tetapi Siboru Pandan So Malos Boru Limbong ternyata melahirkan bayi perempuan, dan istri Marga Nainggolan melahirkan bayi laki-laki. Kedua ibu ini sepakat (antara istri SILALI dan ISTRI NAINGGOLAN), agar bayi perempuan Siboru Pandan So Malos Boru Limbong diberikan kepada Istri Marga Nainggolan, dan bayi Laki-laki dari Istri Marga Nainggolan diberikan kepada Istri Toga Siregar, Siboru Pandan So Malos Boru Limbong.


Demikianlah pertukaran (change) ini terjadi, karena saling sepakat dan saling merindukan anak, tercapailah apa yang diinginkan kedua ibu tersebut tanpa sepengetahuan suami mereka. Dan atas dasar kesepakatan itu mereka merahasiakannya ; rahasia/husip. 


 Kemudian rahasia/husip itu menjadi PADAN/JANJI/IKRAR. Dalam perkembangannya Turunan Siregar Silali lebih menyayangi boru Nainggolan parhusip dan Nainggolan Parhusip lebih menyayangi boru Siregar Silali. Akan tetapi kedua ibu yang menjadi titi (jembatan ) yang baik ini diikuti oleh marga Siregar, demikian juga marga Nainggolan.


 Disebutkan bahwa diberi nama SILALI, karena anak tersebut Lahi (laki), tetapi karena takut terkait dengan Silalahi dari Silahi Sabungan. Baiklah ia disebut SILALI, lali (terbang) tanpa sayap dari Nainggolan ke Siregar di Muara. Demikianlah legenda cerita tersebut yang disampaikan secara turun temurun. (sesuai Saduran Buku Toga Siregar).


Setelah itu tak lama kemudian lahir lah seorang putra lagi dari isteri Toga Siregar dinamai SIAGIAN ; SIANGGIAN. Nama tersebut sesuai dengan namanya, Sianggian adalah si Bungsu.


 
Sampai saat ini marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali belum pernah ada yang menikah. Memang dahulu hanya marga Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali yang memegang padan namun sekarang ini semua marga Nainggolan yang terdiri dari Nainggolan Batuara, Nainggolan Lumban Tungkup, Nainggolan Lumban Raja, Nainggolan Hutabalian, dan Nainggolan Lumban Siantar beserta marga Siregar Silo, Siregar Dongoran, dan Siregar Siagian sudah bersatu dimanapun mereka berada sehingga padan sekarang bukan hanya milik dari Nainggolan Parhusip dan Siregar Silali saja namun juga untuk semua marga Nainggolan dan Siregar lainnya.


Kamis, 31 Maret 2016

TAROMBO KU _ Pomparan Raja Sungkia Siregar Silali Pea Arung

Horas Semuanya...




Perkenalkan Saya, Lambok Arnold Bennet Siregar Silali.




Pomparan ni Ompu i Raja Sungkia Siregar Silali, sian Lumban Panerahan,




Huta Bagasan Pea Arung Silali, Lintong ni Huta Paranginan.




Untuk Lebih jelasnya saya paparkan Silsilah Tarombo saya dibawah ini.